Ketika Pengetahuan dan Pengertian Disandingkan dengan Kebenaran dan Kebijaksanaan

(Foto saat menjadi delegasi di UI Youth Environmental Action 2016)



Review from: Article of Jimmy Ronald

Ketika kita berbicara tentang pengetahuan (knowledge) maka kita berada pada topik yang telah berlangsung sepanjang sejarah pemikiran manusia. Filsuf, pemikir, sosiolog, psikolog, ahli agama, teolog, penyair, penulis dan sastrawan telah berupaya memahami tentang hal ini.

Berbagai pendapat dan argumen dari berbagai sudut pandang membahas tentang “bagaimana seseorang bisa mengetahui yang dia ketahui?” Metafisika membahas topik ini dengan sangat rumit dan kompleks melalui proposisi-proposisi yang begitu luas melalui berbagai presuposisi.

Membahas mengenai para pemikir tersebut akan menjadi topik bahasan yang sangat besar dan sangat luas, tidak akan ada habisnya. Sudut pandang idealisme dan teori juga bukan merupakan posisi dan ‘start point‘ yang diambil dalam pembahasan ini.

Apakah TAHU itu?

Orang yang sudah tahu, tidak perlu diberi tahu.
Orang yang tidak tahu, tidak bisa diberi tahu.

Inilah ‘paradoks’ pengetahuan.

Ketika seseorang sudah mengetahui sesuatu, apa gunanya dia diberi tahu.

Ketika seseorang tidak mengetahui sesuatu, bagaimana caranya dia bisa diberi tahu.

Agar seseorang bisa tahu, terlebih dahulu dia harus tahu bahwa dia tidak tahu. Tapi bagaimana caranya dia bisa tahu apa yang dia tidak tahu? Jadi, untuk menjadi tahu dia harus tahu, (padahal dia tidak tahu).

Kiranya sekarang sudah terbayang betapa besar kesulitan pemikiran sepanjang sejarah manusia berusaha memahami hal ini. Socrates (filsuf Yunani yang hidup dikisaran tahun (469 SM – 399 SM) mengatakan,

“I only know one thing: I know nothing.”

Ini adalah paradoks Socrates tentang pengetahuan.

Tetap tidak dapat menjawab bagaimana manusia bisa tahu akan banyak hal yang mengisi kepalanya. Kita bisa mengatakan bahwa kita lebih pintar daripada Socrates dan berkata karena ada orang lain yang memberi tahu, jadi kita bisa akhirnya dari tidak tahu, menjadi bisa tahu. Socrates itu bodoh, orang kuno, waktu itu dia belum mengerti bahwa kalau sudah diberi tahu, orang bisa tahu.

Mengapa harus TAHU?

Baiklah kita semua sepakat, setelah diberi tahu, seharusnya tahu. Tapi mengapa ada orang yang sudah diberi tahu, masih juga tidak tahu? Kenyataannya, kita bisa memberitahu kepada banyak orang segala jenis pengetahuan dan segala macam pengetahuan, tapi akan selalu ada orang yang tidak tahu.

Kita diajarkan segala macam ilmu mulai di bangku TK sampai jenjang perguruan tinggi, apakah kita tahu semua yang diajarkan pada kita? Apakah raport maupun ijazah yang kita terima semuanya mencerminkan nilai yang sempurna sebagai tanda bahwa kita mengetahui semua yang diberitahukan kepada kita?

Tetap tidak menjawab bagaimana seseorang bisa mengetahui apa yang dia ketahui. Ada tahu yang asal tahu, ada tahu yang benar-benar tahu, ada tahu yang menuju pada pengertian. Tahu itu tidak sama dengan mengerti.

Sekarang, ada sebuah wawasan baru yang terbuka. Socrates sudah tidak lagi kelihatan terlalu bodoh. Kita sekarang mengetahui ada ‘tahu’ yang benar-benar tahu, dan ada ‘tahu’ yang tidak benar-benar tahu.

Mengapa harus MENGERTI?

Setelah seseorang diberi tahu, harapannya mereka mengerti. Itulah prinsip pendidikan manusia. Seseorang bermula dari tidak tahu; setelah diberi tahu, diharapkan menjadi tahu, tidak sekedar tahu melainkan mengerti; setelah dia mengerti, diharapkan untuk melakukan tindakan yang benar sesuai dengan pengertian yang benar yang sesuai dengan pengetahuan yang benar. Tahapannya diharapkan seperti itu.

Sekarang keluar satu wawasan baru lagi:
benar’ / ‘kebenaran’.

Seharusnya kita mengetahui bahwa manusia tidak boleh hanya sekedar tahu akan tetapi, selain tahu dia juga harus mengerti. Apakah kita mengerti akan pengetahuan itu? Apakah kita mengerti apa yang kita mengerti?

David Rosenthal, seorang filsuf dan pengajar di City University of New York, dia sangat dikenal melalui karyanya ‘higher-order-thought theory of consciousness’. Dia mengatakan bahwa,

“Seseorang tidak memiliki kesadaran yang benar-benar sadar ketika dia tidak menyadari kesadaran tersebut”.

Jadi, sebuah kondisi kesadaran itu baru dapat dikatakan dalam keadaan sadar, ketika dia sendiri menyadari apa yang dia sadari.

Demikian pula halnya dengan pengetahuan dan pengertian yang dimiliki seseorang. Sebagai paradoks, dapat pula dijelaskan bahwa seseorang baru dapat dikatakan mengetahui jika dia mengetahui apa yang tidak dia ketahui, karena melalui ketidaktahuan baru dia dapat diberi tahu.

Kesemua pengertian ini masih juga tidak menjelaskan bagaimana orang bisa mengetahui apa yang dia tidak tahu. Tapi sejauh ini, kita sekarang mengerti bahwa pengetahuan muncul dari sebuah pengetahuan akan ketidaktahuan; walaupun tidak dapat dijelaskan bagaimana orang bisa merasa tidak tahu kalau dia sudah merasa tahu (tahu bahwa dia tidak tahu). Inilah kesulitan terbesar dalam paradoks pengetahuan.

Kebenaran dan kebijaksanaan

Tujuan dari kita tahu dan mengerti adalah agar pengetahuan kita menuntun pada pengertian kita, membawa kita kepada kehidupan yang lebih bernilai. Supaya tindakan dan perbuatan kita, pekerjaan tangan kita diperbaharui oleh pembaruan dalam akal budi kita. Supaya dari tahu dan mengerti, kita bisa menjadi orang yang benar dan bijak. Tahu dan mengerti di dalam wilayah ide dan idealisme, benar dan bijak dalam perbuatan nyata kehidupan yang praktis sebagai wujud nyata adanya keberadaan pengetahuan dan pengertian.

Kita tidak belajar supaya kita tahu banyak hal, melainkan supaya kita mengerti banyak hal. Pengertian yang membawa kita kepada kualitas hidup yang lebih tinggi. Pengertian yang membawa kita pada perilaku yang benar dan bijak. Sebuah perilaku yang muncul dari satu sudut pandang yang tepat, menganalisis sesuatu dengan tepat, mengambil kesimpulan yang tepat, dan menjalankan solusi dengan tepat.

Begitu pentingnya pengetahuan dan pengertian sehingga menuntun manusia untuk memandang segala sesuatu dengan tepat. Seperti tujuan pendidikan yang kita bahas di atas, bahwa pengetahuan itu diharapkan mengarah pada pengertian; pengertian itu diharapkan mengarah pada perbuatan yang sejalan dengan pengertian. Setiap manusia mengerti betapa amat sangat penting bagi seseorang dididik dan diberi pengetahuan yang baik dan benar.

Tidak seorangpun dididik untuk menjadi penjahat, perampok, pembunuh, lesby, gay, transgender, pedofil atau koruptor. Tapi entah kenapa, pengetahuan mereka membawa mereka kepada bencana dan menjadi bencana bagi orang lain. Jelas terlihat bahwa alasannya terdapat pada ketidaktahuan bahwa mereka ‘tidak tahu’.

Namun rasanya naïf sekali jika dikatakan bahwa mereka tidak tahu tentang perbuatan mereka itu adalah tidak benar dan tidak mengandung kebenaran. Sekali lagi, tidak ditemukan penjelasan bagaimana orang bisa tidak tahu apa yang dia lakukan.

Contoh simple adalah perilaku merokok. Seseorang sudah diberi tahu, secara ekstensif, diberikan penjelasan segala akibat buruk merokok dan dibandingkan dengan kebaikan dari merokok. Setiap orang tahu –bahkan mengerti– bahaya dari merokok. Namun yang perokok tetap saja merokok. Entah dia profesor, pebisnis besar, presiden, menteri, ahli ekonomi, mahasiswa, pelajar, guru, orang tua, pemuka agama, petani, buruh rendah, dan entah siapa lagi. Apakah mereka orang bodoh? Apakah mereka tidak mengerti?

Mereka tentunya tahu dan mengerti. Namun mereka memandang itu semua dari sudut pandang yang tidak tepat. Mereka menganalisis pengetahuan mereka dari pengertian yang keliru, sehingga tidak ada kebenaran dan kebijaksaan dalam perilaku mereka. Mereka menganalisis pengetahuan dan pengertian mereka tanpa kebenaran dan kebijaksanaan, sehingga terjadi kekeliruan dalam perilaku mereka.

Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa bisa jadi, ‘pengetahuan dan pengertian’ berada di wilayah yang sama sekali berbeda dengan wilayah ‘kebenaran dan kebijaksanaan’.

Hal ini menjelaskan bagaimana orang yang tahu banyak dan mengerti banyak dalam kepalanya, tidak selalu benar dan bijak dalam perbuatannya. Sama halnya orang yang benar dan bijak dalam perbuatannya, tidak selalu tahu banyak dalam kepalanya.

Hal itu menimbulkan pertanyaan yang terus menerus dan tidak habis-habisnya di dalam kepala kita. Kenapa setelah tahu yang baik dan benar dan bernilai, yang dipilih adalah yang rendah, yang salah dan tidak bernilai ?

Jelas sekali terlihat keberadaan jurang pemisah yang sangat curam antara mengetahui dan mengerti, dengan kebenaran dan kebijaksaan. Sepertinya harus ada ‘lompatan’ tentang bagaimana seseorang bisa tahu bahwa dia tidak tahu; demikian pula harus ada ‘lompatan’ dari pengetahuan dan pengertian kepada kebenaran dan kebijaksanaan. Bagaimana seorang manusia dimampukan untuk melakukan lompatan itu?

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa: (bahasan tambahan dari saya)

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS Al-Mujaadilah [58]: 11)

Ilmu yang dimaksud dalam ayat di atas adalah ilmu yang bermanfaat. Apakah hakikat ilmu yang bermanfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung maslahat, memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, manfaat tersebut menjadi kecil artinya apabila tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Allah. Dengan ilmunya, ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Sering kita dapati orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta’lim dan pengajian, tetapi masih ada beberapa yang akhlak dan perilakunya tetap buruk. Kok bisa yha?

Kondisi seperti ini bisa terjadi ketika hatinya tak mampu ditembus oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas tersebut. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus terhadap segala hal yang berbau duniawi serta gemar berbuat maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah mampu menerangi isi hati.

Jimmy Ronald juga menjelaskan dalam tulisannya bahwa dia menemukan pernyataan di dalam buku karangan Cornelius Van Til, dengan teologi Reformed. Cornelius menjelaskan bahwa harus ada campur tangan dari Tuhan (dunia agama mengenali hal ini sebagai ‘pewahyuan’), dari kekekalan menerobos masuk kepada alam manusia. Hal ini langsung menjawab paradoks Socrates.

Di buku tersebut dijelaskan bahwa seluruh dunia sudah rusak total sejak kejatuhan dalam dosa setelah penciptaan, dan semuanya sudah dicengkeram oleh dosa. Hal inilah yang menyebabkan manusia yang meskipun tahu dan mengerti apa yang baik dan benar, tidak memiliki kemampuan untuk membuat pilihan yang tepat. Cengkeraman dosa membuat manusia tidak mungkin bebas dan memilih yang baik, sehingga yang dipilih selalu yang rendah, cemar dan jahat. Dan hal ini langsung menjawab perihal contoh kasus di atas.

Hanya kembali kepada kebenaran yang sejati, menjadi hamba-Nya, mengetahui apa yang benar, mengerti apa yang benar, baru manusia dapat dimerdekakan dari cengkeraman dunia yang mengikat manusia. Barulah seseorang dimerdekakan untuk kemudian dimampukan melakukan ‘lompatan’ itu: dari ‘mengetahui dan mengerti’ kepada ‘kebenaran dan kebijaksanaan’.

Di titik inilah, kita ditawarkan sebuah presuposisi baru, pemahaman yang tampaknya sederhana. Urutannya berjalan terbalik sedemikian:

Supaya kita bisa mengerti, maka terlebih dahulu harus tahu. Untuk bisa tahu, maka terlebih dahulu kita harus ‘percaya’ pada pengajar atau kepada yang memberikan ‘tahu’, baru kita bisa mengetahui. Kita tidak akan bisa belajar apa pun jika kita sudah merasa tahu, ataupun jika kita meragukan (baca: tidak mempercayai) yang memberi tahu kita.

Wallahu a’lam

Tinggalkan komentar